Begadang jangan begadang.
Roma Irama berdendang.
Si kecil ikutan bergoyang.
Ibuya murka! Ayahnya geram!
Itu kotor! Itu kaum ketiga!
Si kecil superior?
Si kecil konglomerat?
Si kecil tumbuh, berpikir, dunia
bertentangan.
Dangdut dikata tidak bermoral.
Lalu apa bedanya dengan layar
bengal.
Suguhan tanpa akal.
Cuma bikin tertawa terpingkal.
Itu juga tidak bermoral?
Larut si kecil dalam angan,
Berandai – andai dengan
keterbatasan.
“kenapa duniaku hitam Tuhan?”
“kenapa duniaku kelam Tuhan?”
“kenapa duniaku terkekang?”
“kenapa duniaku mengerang?”
“aku tidak mati Tuhan.”
“negara yang mati Tuhan.”
“mati karena adegan bebal.”
“mati karena perspektif global.”
“negara tidak sanggup Tuhan.”
“terlalu lemah, negara terlalu
lemah.”
Si kecil berjalan perlahan,
Teriakan ditelan.
Pahit rasanya pahit.
Perut melilit.
Otak pailit.
Si kecil hanya ingin be-Roma
Irama.
Menari tanpa dusta.
Tak peduli dengan kasta.
Toh, kasta sudah rusak..
Tak tahu mana barat dan timur,
Tak tahu mana lokal dan asing,
Si kecil kesakitan melihat
temannya.
Temannya sudah mati.
Perlahan tapi pasti.
Terus tergerus tiada henti.
“Tuhan, kapankah ini berhenti?”
Terseok dan tertatih- tatih,
Dalam kelam merintih,
Mimpi yang tertindih,
0 comments:
Post a Comment