Rintik
– rintik hujan membasahi kota,
Tapi
jangan tangisan membasahi pipimu kawan.
Kota
– kota memancarkan sinarnya.
Tapi
jangan sinar kesedihanmu kawan.
Roda-roda
tertawa riang dalam alunan.
Tapi
jangan alunan dukamu kawan.
Ini
bukan puisi. Bukan cerita.
Ini
hanya rentetan kata.
Rentetan
kata untuk senyum simpulmu.
Seperti
tali simpul, tidak rumit, tidak mudah.
Tapi
pas.
Pas
seperti gelak tawamu kawan.
Tawa
dalam biru kelabu.
Tawa
menjadi isak.
Isak
yang kau tahan dalam tawa.
Jangan
di tahan.
Keluarkan...
Dipikir ini sandiwara?
Sandiwara
realita?
Iya,
benar.
Jangan
pura – pura jadi raja,
Kalau
jadi pangeran-pun tak mampu.
Dunia
ku?
Hiraukan
saja, aku tidak punya dunia.
Mau ditampar?
Tampar
saja sampai lumpuh!
Tak tega.
Nanti
dunia hancur tanpamu kawan.
Dunia
ku? Aku tidak punya.
Pantulannya
sungguh nyata.
Mata,
bibir, raut muka, paras.
Dunia
hilang, kalau kau hilang kawan.
Dunia?
Ku?
Telapak
tangan menutup wajahnya.
Terdiam
dalam gelap pantulan.
Dunia-ku? Dunia? Aku?
Iya,
kamu.
Kamu
dunia.
Aku
dunia?
Iya
kamu.
Dunia
yang penuh senyum simpul, canda tawa, mimik wajah.
Itu
duniamu.
Mau menghilangkan nya?
Roda
turun jatuh ke sanubari.
Akal
hilang, jeritan sunyi.
Hati
mati dengan angan dilempari.
Ini
bukan hiburan,
Hanya
rentetan kata,
Kata
terpaku dalam ucap lidah.
Tersendat di kerongkongan.
Hanya
rentetan kata,
Untuk dunia kawanku
2009 Artists Rights Society (ARS), New York / ADAGP, Paris
0 comments:
Post a Comment