Tuesday, 14 March 2017
“Traveller”
dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan seseorang yang suka berpetualang
dan/atau menyukai petualangan. Apakah seorang “Traveller” harus-lah ia yang sudah menjajaki tempat – tempat
mempesona ciptaan Tuhan? Ataukah ia yang kerap kali ke tempat wisata yang
menarik jutaan mata? Bisa jadi, “Traveller”
adalah seorang petualang yang berpetualang dalam kehidupannya; bagaimana
mempersiapkan diri, menghadapi resiko kehidupan, mengambil hikmah pelajaran kehidupan,
dan menantang diri sendiri untuk melebihi batas kapasitas dirinya dalam
mencapai tujuannya. Tujuan itu sendiri sifatnya subyektif, relative, bersifat continuous atau terus menerus, dan bisa
juga terus berubah dari masa ke masa. Itulah yang nanti akan diceritakan dalam
tulisan ini, tidak sepenggal tulisan, namun sepenggal cerita kehidupan dalam
mencapai sebuah tujuan.
Bukit Sikunir Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Sangat terkenal
dengan “Golden Sunrise-nya”. ”Sikunir”
dari kata “Kunir”; salah satu jenis rempah – rempah di Indonesia yang dapat ditemukan
dan digunakan sebagai bahan pembuatan makanan menjadi lebih lezat. Perumpaman
tersebut hampir serupa dengan Sikunir Dieng atau Golden Sunrise itu sendiri, yang warnanya seperti warna kunir dan
enak dimata. Matahari terbit dari ufuk timur ini sangatlah cantik, menawan,
memukau, dengan warnanya yang kuning ke oranye – oranyean, dengan sedikit
taburan kilau emas, memanjakan mata yang haus akan pesona lukisan Tuhan.
Sinarnya tidak membuat silau mata, seakan Si “Golden Sunrise” ingin diabadikan dalam setiap mata kamera yang ada.
Si Golden Sunrise yang ingin diabadikan
oleh para wisatawan berpose di atas awan, bukit – bukit, dan gunung yang
menjulang tinggi.
Tangan menengadah mencoba menangkap sinar
lembutnya yang menembus ruas – ruas jemari tanga ini. Kehangatannya memeluk dari
kejauhan, membuat enggan bergerak dari tempat berpijak. Terlalu hangat dan
nyaman untuk dilepaskan. Tubuh ini terasa te-recharge ulang. Energi tubuh yang low, hampir tak tersisa dayanya setelah pendakian berjam – jam,
seketika itu lenyap digantikan dengan gairah baru yang kami rasakan. Si cantik
“Golden Sunrise” menghapus semua
tetes peluh keringat ini. Terkagum melihatnya, lukisan ini terlalu nyata.
Seakan mata inipun tak henti – hentinya merekam jejak Si “Golden Sunrise” dari malu – malu muncul, lalu menampakkan pesonanya
dengan anggun tanpa pilih kasih. Nikmat mana yang kamu dustakan? Pemandangan
ini terlalu nikmat, senyum simpul dan gelak tawa yang keluar dari cela – cela
gigi menyiratkan bahwa petualangan ini adalah babak akhir sekaligus awal
kehidupan, kehidupan alam semesta.
Petualangan
adalah kehidupan. Kehidupan terus berputar tiada henti, mendung, bercahaya, pekat
tak bersisa. Manusia diciptakan untuk “survive”
dan “fight” dalam menjalani
kehidupan. Tertatih, merangkak, jatuh tersungkur, adalah lumrah. Proses yang
dari tidak mau menjadi mau, yang dari tidak bisa menjadi bisa, dan saat kita
dapat mencapai “goal” dalam hidup
kita, euforia pesta tiada henti. Namun, terkadang saat merasa sudah mencapai puncaknya,
Tuhan mungkin melipat keadaan kita ke sisi lainnya, memudar secara perlahan
menjadi cahaya semu, terus meredup lalu sirnalah euforia itu. Seperti Si “Golden Sunrise” yang akan terbenam lagi,
dimana secara perlahan sinar emasnya akan tertelan lagi oleh rotasi bumi hingga
tak bersisa kilau emasnya.
Waktu berlalu sangat cepat. 00.30 pagi, bergegas
berangkat. Amatiran di dunia pendakian hanya memakai jaket cukup tebal dan sepatu
tanpa kaus kaki! Ada juga yang hanya memakai sandal japit. Berpikir bahwa ini
hanyalah berpetualang dan bersenang – senang untuk menghilangkan penat realita
yang tiada habisnya. Selama perjalanan Wonosobo-Yogyakarta senyap malam pekat sungguh
terasa. Jalanan begitu gelap, tak tahu menahu samapai mana arah rimbanya. Hanya
berdoa sesuatu yang buruk tidak akan menimpa di jalan.
Setelah berjam – jam, sampailah di daerah
kawasan Dieng, Wonosobo. Walaupun berada didalam sebuah kotak bermesin canggih
rasanya angin terus menusuk kulit kami tanpa ampun; semakin menusuk menembus
pori – pori kulit. Tidak mampu membayangkan bukit yang akan dijelajahi nanti. Tak
dapat membayangkan pula apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesampainya
di Dieng, tulisan “Selamat Datang di
Bukit Sikunir Dieng” menyambut kedatangan kami. Karena angin dingin yang
terlalu menggigit, sampai lupa untuk mengabadikan momen berfoto dengan tulisan
tersebut walaupun hanya sekali jepret. Dinginnya sampai ke lapisan tulang
terdalam, udara dan cuacanya membawa kebekuan di sekujur tubuh membuat sebagian
dari kami memakai jaket hingga 2 atau 3 lapis. Para amatir mengira bahwa tempat
berpijak saat itu adalah tempat untuk melihat “Golden Sunrise”. Ternyata keliru. Apabila ingin melihat keindahan
si “Golden Sunrise” harus mendaki ke
puncak tertinggi. Tercengang, mendengar kenyataan bahwa akan mendaki; dimana
saat itu apabila dilihat dengan mata telanjang, alur pendakian yang akan dilalui
adalah gersang, curam, dan berdebu. Profesional yang sudah biasa mendaki
berusaha menenangkan amatiran yang baru sekali/ dua kali mendaki. Mengatakan
bahwa ini hanyalah bukit, bukan gunung.Amatiran hanya saling memandang satu
sama lain dan menyadari bahwa tidak ada persiapan apapun kecuali rag, jiwa, dan
nekat.
Pendakian dimulai, lima perempuan dan empat
laki – laki. Satu teman laki – laki bernama Bath berjalan paling depan membawa
penerangan pertama, diikuti oleh dua perempuan. Lalu disusul Re yang membawa
penerangan juga, diikuti tiga perempuan. Lalu paling belakang dua teman laki –
laki lainnya yang membawa penerangan dan minuman.
Awal perjalanan tidak terlalu sulit dan tidak melelahkan,
terdapat jalan setapak terbuat dari bebatuan yang tersusun rapi membimbing kami
untuk tidak keluar dari jalur pendakian; sehingga tidak terpeleset, terseok,
dan maupun terjatuh. Kami sungguh menikmati perjalanan walaupun udara dingin
menyeruak begitu hebatnya melalui celah – celah dahan dan ranting yang sudah
lapuk termakan usia. Tatkala dalam perjalanan, membicarakan tentang hebatnya ciptaan
Tuhan yang tidak disadari oleh mata telanjang manusia. Batu demi batu, jalan
demi jalan yang ditapaki, inci demi inci pepohonan kering yang dilihat, membuat
kami terkesima betapa hebatnya lukisan Tuhan ini. Jalur perndakian berbukit
yang begitu curam, berbatu, dan berdebu, tak satupun dari hal tersebut membuat
kami terjungkir ataupun terjatuh
Seperempat perjalanan sudah ditempuh. Jalan
setapak mulai memudar, dan kini benar – benar hanya batu dan tanah berdebu
gersang yang menjadi alas pijakan. Ranting – ranting pepohonan yang besar,
kokoh, dan kuat di kanan – kiri menjadi tambatan pegangan agar tidak terjatuh.
Dalam gelapnya dini hari itu, dari kejauhan melihat sepercik cahaya berpendar. Terkejut
mendapati bahwa ada seorang bapak paruh baya di gubuk reyot menawarkan jajanan
dan minuman hangat. Karena tidak begitu lapar dan membawa minuman sendiri,
dengan penuh rasa hormat mengatakan, “Sampun Pak, matursuwun” (Bahasa
Indonesia: Sudah Pak, terimakasih banyak). Raut muka bapak itu berubah menjadi sedikit
kecewa terlihat dari kerutan pelipis diwajahnya karena penolakan halus kami,
namun beliau tetap tersenyum dengan ramahnya. Seketika itu pula, seperti
tertampar keras, betapa kurangnya dalam mensyukuri hidup apabila dibandingkan
dengan Bapak tadi. Seringkali mengeluh makanan kurang enak, kurang banyak, dan
kurang – kurang yang lainnya. Padahal, sandang, pangan, dan papan, bahkan
kebutuhan tersier masih sangat tercukupi atau malah lebih dari cukup; berbeda
denga si Bapak yang hanya mengharap dagangannya laku hanya untuk sesuap nasi
penyambung kehidupan.
Setengah perjalanan sudah ditempuh. Pasokan
udara semakin menipis, dingin yang menusuk layaknya jarum suntik, menggigit
setiap pembuluh darah dan denyut nadi. Tak urung pula, terkadang berhenti
sesaat untuk mengatur nafas yang sudah tidak karuan, antara ingin menyimpan
persedian oksigen di dalam tubuh, ataukah mengikuti gerakan paru – paru yang
senantiasa mengembang dan mengepis untuk mengeluarkan karbondioksida, dan
menghirup oksigen. Namun sungguh, rasanya hampir tidak dapat merasakan oksigen
lagi, dada terlalu sesak untuk melakukan proses pernafasan. Pikiran mulai tak
sejalan dengan langkah kaki, mata perih-pedas karena debu berterbangan ke pupil
mata kami, kuku sudah berubah warnanya dari merah muda merona menjadi putih
biru pucat tak berseri, gemertak gigi yang begitu kerasnya juga membuat tulang pipi
linu-nyeri, indera pendengaran seperti tak berfungsi karena kebekuan udara yang
ada, kain – kain tebal yang dibalutkan dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak
dapat melindungi setiap inci pori tubuh ini, seperti ditusuk seribu pedang,
hingga seperti mati rasa. Sebagian dari kami hampir berniat untuk kembali ke titik
awal keberangkatan, karena alam membenturkan kesadaran bahwa manusia itu lemah.
Namun, kami saling menyemangati, mengatakan bahwa ini hanyalah permulaan. “Why do I start this journey?!”
Mengingatkan satu sama lain tentang tujuan awal mengapa ada disini, dan
melakukan perjalanan ini. Apabila ingin mundur dan/atau kembali pada titik awal
perjalanan saat kita sudah mencapai setengah perjalanan. Ingat kembali akan
tujuan awal kita. Mengapa kita ingin melakukan perjalanan ini dan mengapa kita
memilih perjalanan ini.
Perjalanan-pun berlanjut dengan penuh
kepayahan. Jalur pendakian semakin curam, jarangnya batu yang terlihat yang
dapat menjadi pijakan. Semuanya tertutup debu tebal yang tak jarang pula
membuat terpeleset atau gatal – gatal karena debu masuk ke dalam alas kaki dan
pakaian ini. Terjalnya jalur pendakian membuat amatiran kepayahan dalam mencari
jalur yang tidak terlalu tebal debunya, licin, ataupun curam; dan mencari –
cari pegangan entah itu ranting, dahan pohon, atau-pun batu besar di sekililing.
Profesional yang sudah terbiasa mendaki bukit atau gunung turut serta membantu amatiran
untuk terus mendaki. Terkadang, harus seperti setengah memanjat untuk mencapai
puncak tertinggi Bukit Sikunir Dieng. Bagi kami para perempuan hal ini cukuplah
sulit, karena kami bukan makhluk Tuhan yang diciptakan untuk pandai dalam hal
memanjat. Saling bantu membantu untuk menarik keatas dan mendorong dari bawah
melancarkan usaha pemanjatan dalam menapaki jalur pendakian inci demi inci
hingga mencapai puncak Bukit Sikunir Dieng.
Setelah beberapa panjatan sampai-lah di puncak
tertinggi Bukit Sikunir Dieng. Hal pertama yang terucap dari mulut kaku dan
beku adalah puji syukur kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Bersyukur
setelah pendakian berjam – jam akhirnya mampu menaklukan Bukit Sikunir Dieng
yang terjal dan penuh debu. Berakhirlah pendakian kami. Gelak tawa dan teriakan
suka cita membahana di langit dan menyadari dimana terlihat sedikit demi
sedikit ada secercah cahaya kemilau emas mulai menampakkan cahaya terangnya. Inilah
detik – detik terbitnya “Golden Sunrise”.
Mata tak henti – hentinya merekam jejak Si “Golden
Sunrise” yang muncul secara perlahan. Warnanya yang kuning ke oranye –
oranyean sungguh sangat cantik dan membuat terpesona. Tangan menengadah tinggi
– tinggi, sinar lembutnya menembus ruas – ruas kesepuluh jari – jemari tangan ini
Kehangatannya memeluk dari kejauhan, membuat enggan bergerak dari tempat
berpijak. Energi tubuh yang hampir tak tersisa dayanya setelah pendakian,
seketika itu lenyap digantikan dengan gairah baru untuk melanjutkan petualangan
hidup. Si cantik “Golden Sunrise”
menghapus semua tetes peluh keringat dan membayar tuntas perjuangan menuju
puncak. Nikmat mana yang kamu dustakan? Pemandangan ini tak terlukiskan, tak
bisa diungkapkan dengan jutaan kata indah pujangga, dan keindahan “Golden Sunrise” ini adalah tanpa cela. Inilah
babak akhir pendakian, namun juga awal kehidupan semesta baru.
Mengabadikan setiap momen matahari terbit
tersebut sampai ia menyinari bumi seutuhnya tanpa pilih kasih. Setelah puas
berfoto-foto, kami kembali ke titik awal keberangkatan, karena semakin lama semakin
panas dan gersang keadaan di puncak bukit. Selama menuruni jalur pendakian,
kami juga mengabadikan pemandangan sekitar dengan beberapa kali jepretan. Tak
henti – hentinya memuji lukisan Tuhan yang begitu mempesona, yang membuat mata
tak henti – hentinya terkagum, dan mensyukuri nikmat ini selagi masih bernafas.
Sesampainya di titik awal keberangkatan, banyak penjual yang menawarkan
beraneka ragam jenis makanan. Lucunya, karena udara yang sangat dingin, mie
instan yang sangat panas yang akan disantap, sekejap dalam hitungan menit menjadi
sedingin es, begitu juga dengan jajanan hangat yang dibeli. Namun, rasa lapar ini
tak mengurungkan niat untuk menghabiskan santapan yang ada. Puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh berkah dan anugerah ini tidak akan terlupakan.
Selama perjalanan pulang, mengingat – ingat ulang berbagai hal menakjubkan yang
terjadi yang membawa dampak besar terhadap pola pikir dan perspektif kami
mengenai hidup dan serta kehidupan. Tentunya juga rasa syukur yang tiada henti
atas kehendak Tuhan untuk dapat merasakan pengalaman ini sebagai bagian dalam
cerita kehidupan. Tamat.
-Teman Seperjuangan-
-Golden Sunrise di Bukit Sikunir Dieng-
-Sudah terbit dan Panas-
-Seperti Refleksi Air-
Categories
- ACADEMIC ESSAY (3)
- ENGLISH -POETRY- (11)
- FICTION (14)
- JOURNAL AND ANALYSIS (14)
- LITERATURE (13)
- ROMANTICISM (9)
- SHORT ARTICLE (3)
- SLICE OF LIFE (1)
CONTACT
anisa008har@gmail.com
anisaharyono@ymail.com
AnnisaHaryono. Powered by Blogger.
Labels
Featured Posts
-
Kebut – kebutan di jalanan. Tiang palang perempatan. Manuver indah di aspal. Merah berceceran. Adam hawa jejeritan. Luka pusin...
-
Ecocriticism is one of the most recent literary theories, only beginning in the US in the late 1980’s and in the UK in the 1990’s. Altho...
-
Disagreeing with Plato’s idea that all literature or art should teach moral. Literature or art is more than that. It does not only a...
-
Hei, pujangga cinta! Ini tulisan nyata! Tentang rasa wanita! Sedang terlena? Sebuah nama. Kenangan rupa. Kalbu suara. Mana m...
-
Marxism Chapter “Ideology has very little to do with consciousness—it is profoundly unconscious.” ~Louis Althusser “It is not the co...
-
This song (Kickapoo by Tenacious D) which was about family relationship and persistence. Here, I would like to add other perspectives that ...
-
This scene shows that the father wants to kill the man because he thinks an animal does not deserve a human’s love. Here, the father sti...
-
DISCUSSION This section will try to examine those three characteristics ( Truths is relative, Each religion is le...
-
BACKGROUND KNOWLEDGE “I will always be true to myself” (Satrapi, 151). That is what Marjie said before she departed to Aust...
-
Little angle weep a tear, fall into a deep sea. God says “Don’t cry dear”, light guide her to see. A unique little angle. St...
Copyright © 2025
WRITING - NEVER ENDING LULLABY | Powered by Blogger
Design by Flythemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
Halo mbk :)
ReplyDeleteya halo, terimakasih sudah mampir membaca :)
Delete