Agenda
propaganda,
Propaganda
retorika,
Retorikacerita,
Cerita
tiada habisnya.
Apa
daya hanya pujangga,
Apa
daya hanya manusia,
Mata,
kaki, tangan, telinga,
Hanya
dua.
Dua
mata yang tak mampu memutar ke belakang,
Saat
mampu, akal kosong!
Gelap!
Seakan
berkata, apa yang mau diambil?
Di
depanmu lebih cerah, mata melihat segalanya.
Cerah?
Kecerahan
itu palsu! Cerita berkata.
Terlihat
biru, namun gemuruh marah dibalik biru.
Seakan
biru salah.
Seakan
biru harusnya itu abu,
Abu
untuk keluarnya gemuruh.
Terdengar
oleh dua telinga,
Dua
telinga yang mendengar semuanya.
Semuanya
terangkum dalam ingatan.
Ingatan
tak tahan, tangan kakipun bertindak.
Lari
sekencang – kencangnya.
Tak
peduli tersungkur. Terinjak. Terlupakan.
Melaju
kencang!
Saat
cerita ditarik, direka, diputar ulang.
Cerita
berkata kepada ingatan.
Hapus!
Cukup
sudah direka ulang!
Cukup
sudah membisu.
Cerita
yang tak bisa bercerita,
Dibungkam
oleh realita...
Bicara
ditahan,
Cerita
tidak salah!
Cerita
hanya cerita untuk diceritakan.
Namun juga ingin bercerita.
Bercerita ia yang ada disana.
Dilempar
dengan pasak mengenai sasaran.
Ia
menolak!
Menolak
bagian dari sebuah cerita?
Menolak
untuk menjadi cerita?
Terlalu
kelam katanya,
Kelam
apanya!
Cerita yang kelam!
Cerita
tak ingin diingat!
Cerita
tak ingin disebut!
Cerita
digembok.
Dibungkam
dengan ribuan doktrin.
Dibunuh
dengan jutaan memori.
Hingga
cerita lupa ingatan,
Cerita
hanyalah cerita teman.
Cerita
adalah teman.
Yang
tak pernah dianggap ada.
Ini
cerita cerita.
Yang
cerita ingin dibaca.
Agar dimengerti cerita itu ada.
0 comments:
Post a Comment